39 Views

Gerakanaktualnews.com, Samarinda — Jumlah laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Samarinda yang terus meningkat hingga mencapai 50 kasus per Maret 2025 menjadi perhatian serius kalangan legislatif. Meski hal ini menempatkan Samarinda sebagai wilayah dengan angka kekerasan tertinggi di Kalimantan Timur, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, melihat sisi lain yang perlu diapresiasi dari peningkatan tersebut.

Menurut Sri Puji, lonjakan angka kasus bukan selalu pertanda situasi memburuk, melainkan indikasi bahwa korban maupun masyarakat mulai terbuka dan berani bersuara.

“Kita harus melihatnya sebagai sinyal keberanian masyarakat untuk melaporkan, yang selama ini mungkin memilih diam. Tapi jangan berhenti di sana, pemerintah harus menjamin setiap laporan ditangani secara serius dan tuntas,” ujarnya, Selasa (27/5/2025).

Politisi Partai Demokrat itu menegaskan bahwa penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak harus bersifat holistik. Tidak hanya fokus pada aspek penegakan hukum, tetapi juga menyentuh sisi pemulihan korban dan pencegahan jangka panjang melalui edukasi serta pemberdayaan.

Ia menyoroti bahwa regulasi dan instrumen hukum memang telah tersedia, namun implementasinya di lapangan belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan.

“Regulasinya sudah ada, sistemnya pun sudah dirancang. Tapi ketika masyarakat masih belum tahu haknya, atau tak tahu harus ke mana mencari perlindungan, maka itu menjadi pekerjaan rumah kita semua,” tegasnya.

Sri Puji juga mendorong sinergi nyata antar sektor, baik pemerintah, aparat penegak hukum, institusi pendidikan, hingga tokoh masyarakat dalam merespon kasus-kasus kekerasan. Ia menilai kolaborasi lintas lini merupakan kunci agar upaya perlindungan benar-benar berdampak.

“Tidak bisa hanya satu dua lembaga yang bergerak. Semua elemen harus terlibat. Ini soal bagaimana negara hadir hingga ke akar rumput, termasuk di tingkat kelurahan dan desa,” katanya.

Lebih lanjut, ia menyinggung kondisi rumah aman yang dikelola UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak. Meski kehadirannya penting, Sri Puji menilai fasilitas tersebut masih jauh dari ideal.

“Secara administratif mungkin terlihat memadai, tapi dari segi kenyamanan, kerahasiaan lokasi, serta ketersediaan tenaga profesional, masih banyak yang harus diperbaiki,” ucapnya.

Ia mengingatkan bahwa rumah aman seharusnya bukan sekadar tempat perlindungan sementara, tapi ruang pemulihan yang aman, rahasia, dan didukung layanan esensial seperti kesehatan, pendidikan, dan pendampingan psikososial.

“Korban butuh tempat untuk bangkit, bukan hanya untuk berlindung. Maka lokasi, keamanan, hingga kesiapan SDM harus benar-benar diperhatikan,” tutup Sri Puji. (Adv/dprdsamarinda)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *