11 Views

Gerakanaktualnews.com, Samarinda — Keberadaan anak jalanan (anjal) dan gelandangan-pengemis (gepeng) masih menjadi pemandangan harian di kota-kota besar Kalimantan Timur seperti Samarinda dan Balikpapan. Meski peraturan sudah ada dan razia berkala dilakukan, kenyataan di lapangan menunjukkan masalah ini belum tersentuh hingga ke akarnya.

Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Kaltim, Andi Muhammad Ishak, menilai bahwa persoalan anjal dan gepeng bukan hanya soal pelanggaran ketertiban umum, melainkan persoalan sosial yang lebih kompleks.

Di balik wajah-wajah di persimpangan jalan dan pusat keramaian, ada potensi eksploitasi serta pola ketergantungan pada empati masyarakat yang belum teredukasi.

“Banyak dari mereka sebenarnya menjadi korban. Entah karena eksploitasi, atau karena terbiasa menerima uang secara langsung dari pengguna jalan. Ini persoalan serius,” ujar Andi, Sabtu (12/7/2025).

Penertiban yang selama ini dilakukan oleh aparat seperti Satpol PP, diakuinya belum efektif tanpa adanya pendampingan pasca-razia.

Ia menyoroti lemahnya pengawasan setelah para gepeng direhabilitasi, serta belum adanya solusi ekonomi jangka panjang yang menjamin mereka tidak kembali ke jalanan.

“Setelah ditertibkan, mereka kembali lagi. Kenapa? Karena tidak ada pembinaan berkelanjutan, dan kapasitas panti rehabilitasi kita juga sangat terbatas,” jelasnya.

Kondisi tersebut semakin pelik karena lonjakan jumlah anjal dan gepeng tak sebanding dengan fasilitas penampungan yang tersedia. Pemerintah daerah, kata Andi, tidak bisa bekerja sendirian dalam menangani masalah ini.

Ia menekankan perlunya kerja lintas sektor dan peran aktif masyarakat, bukan hanya reaksi sesaat.

“Ini tidak bisa jadi beban tunggal Dinsos atau Satpol PP. Semua pihak, termasuk kabupaten/kota, aparat hukum, dan masyarakat, harus turun tangan,” tegasnya.

Salah satu kebiasaan publik yang memperpanjang siklus ini adalah pemberian uang secara langsung. Niat baik dari pengguna jalan justru memperkuat pola ketergantungan yang membuat anjal dan gepeng memilih jalanan sebagai tempat ‘mengais rezeki’.

“Kalau masyarakat berhenti memberi uang langsung, maka mereka akan berpikir ulang untuk kembali ke jalan. Ini soal membentuk pola pikir bersama,” sambung Andi.

Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, Dinsos Kaltim telah menyiapkan skema rehabilitasi terpadu. Terdiri dari sembilan layanan menyeluruh, program ini mencakup kebutuhan dasar, pelatihan keterampilan, dukungan spiritual, layanan kesehatan, hingga pemulangan ke daerah asal.

Bahkan, salah satu panti yang sebelumnya digunakan untuk korban kekerasan perempuan kini difungsikan khusus menangani gepeng, sebagai bentuk adaptasi terhadap dinamika sosial yang berkembang.

Andi menegaskan, rahasia menyelesaikan persoalan ini bukan hanya razia, tapi upaya komprehensif yang menjangkau sisi sosial, ekonomi, dan edukatif. Ia mengajak masyarakat berhenti melihat anjal dan gepeng sebagai sekadar ‘gangguan visual’, tetapi sebagai bagian dari tanggung jawab bersama.

“Kalau kita hanya memindahkan mereka dari satu titik ke titik lain, itu tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kita harus membenahi sistemnya, dan yang paling penting: membangun kesadaran publik,” pungkasnya. (Adv/diskominfokaltim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *