57 Views

Gerakanaktualnews.com, Samarinda – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) Gabungan Komisi pada Senin (5/5/ 2025) di Ruang Rapat Gedung E DPRD Kaltim. Agenda utama rapat tersebut adalah membahas progres penanganan permasalahan pertambangan ilegal di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Universitas Mulawarman, Lempake, Samarinda.

Rapat ini digelar sebagai bentuk keprihatinan sekaligus upaya serius DPRD dalam merespons aktivitas tambang ilegal yang mencemari kawasan hutan pendidikan milik Universitas Mulawarman. KHDTK merupakan kawasan yang secara khusus diperuntukkan untuk kegiatan penelitian, pendidikan, dan pelestarian lingkungan. Namun, kawasan tersebut kini terancam akibat aktivitas tambang yang tidak berizin.

Damayanti, anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur dari Fraksi PKB, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kejadian ini. Dalam sesi wawancara usai rapat, Damayanti mengatakan bahwa kasus ini sangat memprihatinkan, mengingat lokasi tambang ilegal berada di lahan yang seharusnya menjadi sarana belajar generasi muda.

“Kasus ini secara pribadi membuat saya sangat miris. Apalagi ini lahan hutan yang peruntukannya untuk dunia pendidikan,” ujarnya.

Menurut Damayanti, keberadaan tambang ilegal ini mencoreng nama baik dunia pendidikan dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai peran pengawasan serta efektivitas sistem perizinan yang berlaku. Ia menilai bahwa aktivitas tersebut harus ditindak tegas agar tidak terulang kembali di masa mendatang.

“Kemudian, apakah ini pembelajaran buat anak-anak kita? Ini menurut saya sesuatu yang mencoreng nama pendidikan. Ini memang harus ditindak tegas sebagai upaya pencegahan agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi,” tambahnya.

Mengenai kewenangan perizinan tambang, Damayanti menjelaskan bahwa hal tersebut berada di tingkat pusat. Namun, ia menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur tetap memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap dampak aktivitas pertambangan, termasuk memastikan bahwa reklamasi dilaksanakan setelah proses eksploitasi.

“Perizinan memang dari pusat, tetapi kita di provinsi tetap harus memantau dampaknya. Jika tambang sudah mengeruk, maka harus ada reklamasi. Itu kewajiban,” jelasnya.

Saat ditanya mengenai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Damayanti menyebut belum melihat adanya Amdal untuk aktivitas tambang di KHDTK tersebut. Ia menekankan bahwa secara ekosistem, keberadaan tambang di kawasan pendidikan jelas merusak dan tidak dapat dibenarkan.

“Untuk kasus ini, kita belum lihat itu (Amdal). Cuma secara ekosistem, ini jelas merusak lahan untuk anak-anak kita belajar,” katanya.

Ia pun menyebut bahwa kasus ini sebagai bentuk “kecolongan” karena diketahui setelah aktivitas tambang berjalan dan berdampak pada kawasan pendidikan.

“Kita kecolongan karena tahunya setelah kejadian. Apalagi ini terjadi di hutan milik lembaga pendidikan,” ungkapnya prihatin.

Sebagai solusi jangka pendek, Damayanti mendorong penegakan hukum yang tegas oleh GAKKUM (Penegakan Hukum Lingkungan Hidup) dan Polda Kalimantan Timur. Ia juga berharap Dinas Lingkungan Hidup dapat lebih aktif dalam melakukan pemantauan terhadap aktivitas tambang, baik yang legal maupun ilegal.

“Untuk hukumnya kita serahkan ke GAKUM dan Polda Kalimantan Timur. Dan untuk antisipasi ke depan, kita harap Dinas Lingkungan Hidup aktif memantau lahan-lahan tambang yang ada izinnya. Jangan sampai aktivitas di luar izin dibiarkan,” pungkasnya.

Kasus ini membuka mata banyak pihak bahwa perlindungan kawasan pendidikan dari ancaman eksploitasi harus menjadi prioritas bersama. Penegakan hukum dan pengawasan yang ketat menjadi kunci agar insiden serupa tidak kembali mencoreng wajah pendidikan dan lingkungan Kalimantan Timur. (Vinsen)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *